Imandari segi istilah artinya meyakini setulus hati yang mengakar kuat, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan seluruh anggota badan. Menurut M. Quraish Shihab, kata malaikat berasal dari bahasa Arab yaitu malā'ikah ( مَلَائِكَة ) yang merupakan bentuk jamak dari kata malak ( مَلَكٌ ) yang terambil dari kata la-aka
Uploaded byCabil Dinding 77% found this document useful 13 votes39K views5 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOC, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document77% found this document useful 13 votes39K views5 pagesSoal Aswaja XiiUploaded byCabil Dinding Full descriptionJump to Page You are on page 1of 5Search inside document You're Reading a Free Preview Page 4 is not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.

KunciJawabannya adalah: D. Kekuasaan tertinggi. Dilansir dari Ensiklopedia, Kata kedaulatan berasal dari kata "daulah" dalam bahasa arab yang berartikata kedaulatan berasal dari kata "daulah" dalam bahasa arab yang berarti Kekuasaan tertinggi.

Arti kata, ejaan, dan contoh penggunaan kata "abadi" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI. abadi a kekal; tidak berkesudahan di dunia ini tidak ada yg -;mengabadi v menjadi abadi dr tahun ke tahun buku-buku karangannya semakin ~;mengabadikan v 1 mengekalkan ~ persahabatan antara kedua bangsa; 2 membuat gambar kenang-kenangan dng dipotret, dilukis, dsb; menjadikan peringatan yg kekal para wartawan foto dan televisi ~ upacara pembukaan PON;pengabadian n proses, cara, perbuatan mengabadikan;keabadian n 1 kekekalan; 2 tempat yg abadi alam baka kenanglah pahlawan yg telah bersemayam di ~ Bantuan Penjelasan Simbol a Adjektiva, Merupakan Bentuk Kata Sifat v Verba, Merupakan Bentuk Kata Kerja n Merupakan Bentuk Kata benda ki Merupakan Bentuk Kata kiasan pron kata yang meliputi kata ganti, kata tunjuk, atau kata tanya cak Bentuk kata percakapan tidak baku ark Arkais, Bentuk kata yang tidak lazim digunakan adv Adverbia, kata yang menjelaskan verba, adjektiva, adverbia lain - Pengganti kata "abadi" Kosakata Populer Sedang Dilihat Informasi Tentang Situs Merupakan situs penyedia data mengenai arti kata atau istilah dan cara pengejaannya beserta contoh kalimat yang disadur dari "Kamus Besar Bahasa Indonesia" atau yang biasa disingkat dengan KBBI. Tidak seperti beberapa situs web yang sama, kami mencoba untuk menyediakan berbagai fitur lain, seperti kecepatan akses, menampilkan dengan berbagai membedakan warna untuk jenis kata, tampilan yang tepat untuk semua web browser kedua komputer desktop, laptop dan ponsel pintar dan seterusnya. Fitur lengkap dapat dibaca di bagian fitur Online KBBI. Arti kata seperti kata "abadi" di atas ditampilkan dalam warna yang membuatnya mudah untuk mencari entri dan sub-tema. Berikut adalah beberapa penjelasan Jenis kata atau Deskripsi istilah-istilah seperti n kata benda, v kata kerja dalam merah muda pink dengan menggarisbawahi titik. Arahkan mouse untuk melihat informasi tidak semuanya telah dijelaskan Makna 1, 2, 3 dan seterusnya ditandai dalam huruf tebal dengan latar belakang lingkaran Contoh penggunaan entri / sub entri yang ditandai dengan warna biru Contoh dalam Amsal ditandai di orange Ketika mengeklik hasil dari "Loading" daftar, hasil yang sesuai dengan kata Cari akan ditandai dengan latar belakang kuning Menampilkan hasil yang baik dalam kata-kata dasar dan derivatif, dan makna dan definisi akan ditampilkan tanpa harus kembali men-download data dari server Link cukup Permalink / Link indah dan mudah diingat untuk definisi kata, misalnya Kata 'teknologi' akan memiliki link di Kata 'konservatif' akan memiliki link di Kata 'rukun' akan memiliki link di Contoh Kata yang Mirip dengan kata "abadi" yaitu abadi • barzanji • cecer • kaul • bulat • anal • encik • campang • tuai • udel • pilih • sigap • selak • ipuk • klitoris • piyik • kesturi • aspiratif • lawak • kayun • kinerja • bakmi • final • sawer • mujur • monster • waliullah • penatu • koaksial • sitologi dll Sehingga link ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam menulis, baik pada jaringan dan di luar dikembangkan dengan konsep desain responsif, berarti bahwa penampilan website situs dari KBBI akan cocok di berbagai media, seperti smartphones Tablet pc, iPad, iPhone, Tab, termasuk komputer dan netbook / laptop. Tampilan web akan menyesuaikan dengan ukuran layar yang tambahan baru di luar KBBI edisi IIIMenulis singkatan di bagian definisi seperti yang, dengan, dl, tt, dp, dr dan lain-lain ditulis secara penuh, tidak seperti yang ditemukan di KBBI PusatBahasa.✔ Informasi tambahanTidak semua hasil pencarian, terutama jika kata yang dicari terdiri dari 2 atau 3 surat, semua akan ditampilkan. Jika hasil pencarian dari "Loading" daftar sangat besar, hasil yang dapat langsung diklik pada akan terbatas jumlahnya. Selain itu, untuk beberapa kata pencarian, sistem akan hanya mencari kata-kata yang terdiri dari 4 huruf atau lebih. Misalnya apa yang dicari adalah "water, minyak, dissolve", sehingga hasil pencarian yang akan ditampilkan adalah minyak dan membubarkan beberapa kata pencarian dapat dilakukan dengan memisahkan setiap kata dengan tanda koma, misalnya mengajar, program, komputer untuk menemukan kata-kata pengajaran, program dan komputer. Jika ditemukan, hasil utama akan ditampilkan dalam "base words" kolom dan hasil dalam bentuk kata-kata turunan akan ditampilkan dalam "Loading" kolom. Ini banyak kata pencarian akan hanya mencari kata-kata dengan minimal 4 Surat panjang, jika sebuah kata yang 2 atau 3 Surat panjang, kata akan data arti kata yang terdapat di website ini merupakan hak cipta dari situs resmi KBBI yang beralamat di Jika anda menemukan padanan kata atau arti kata yang menurut anda tidak sesuai atau tidak benar, maka anda dapat menghubungi ke pihak Badan Bahasa KEMDIKBUD untuk memberikan kritik atau saran Berikut adalah informasi kontak dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur. Telepon 021 4706287, 4706288, 4896558, 4894546. Faksimile 021 4750407 Email [email protected]
Secaraetimologi kata sejarah berasal dari bahasa Arab syajaratun yang berarti pohon. Berikut ini bukan pengertian sejarah secara istilah, yaitu A. Tarikh B. Historia C.Istor D. Geschichte E. Gesch
Uploaded byTRI 0% found this document useful 0 votes2K views7 pagesDescriptionfreeOriginal TitleSOAL ASWAJACopyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document0% found this document useful 0 votes2K views7 pagesSoal AswajaOriginal TitleSOAL ASWAJAUploaded byTRI DescriptionfreeFull descriptionJump to Page You are on page 1of 7Search inside document You're Reading a Free Preview Pages 4 to 6 are not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
6views, 0 likes, 0 loves, 0 comments, 0 shares, Facebook Watch Videos from DWI: Kata hijrah berasal dari Bahasa Arab, yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat. Dalam konteks
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Tahun 1908 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Balai Poestaka sebagai sarana untuk ’mengambil hati’ penduduk jajahannya dengan menerbitkan literatur-literatur berbahasa Melayu. Sejalan dengan diterbitkannya buku-buku terjemahan dari bahasa Belanda, tak dapat dihindarkan terlahirlah sejumlah kata Melayu yang sangat kental bertalian dengan ungkapan dalam bahasa Belanda. Karena kosakata Melayu jauh sebelumnya sudah banyak menyerap dari bahasa Arab, maka terjadilah asimilasi yang unik pembentukan kata baru dengan ’bahan dasar’ kata Arab dengan ’cita rasa’ yang unik adalah kata ’abadi’. Dalam bahasa Belanda disebut dengan ’eeuwig’ dan kata ini adalah turunan dari kata ’eeuw’ yang bermakna ’abad’ seratus tahun. Ahli bahasa masa itu mengetahui bahwa dapat dipakai akhiran ’i’ untuk membentuk sebuah kata sifat, misalnya ’badani’ dari kata ’badan’, ’hewani’ dari kata ’hewan’. Dan itulah ’resep’ yang mereka pakai untuk memadani kata ’eeuwig’ menjadi ’abadi’. Kita di masa kini, sudah kehilangan jejak bahwasanya ’abadi’ berasal dari kata ’abad’ ini. Apalagi bilamana kita tidak mengetahui ada istilah ’eeuw’ dan ’eeuwig’ yang berkaitan sebuah kata sifat lain yang menurut saya juga sudah nyaris tak terlacak asal usulnya mendompleng dari ungkapan Belanda yaitu ’bahari’. Sama seperti resep yang dipakai untuk melahirkan kata ’abadi’, ’bahari’ dipungut dari kata Arab ’bahar’ yang berarti ’laut’. Dalam bahasa Belanda disebut dengan ’zeevaartkundig’ zee = laut, vaart = perjalanan. Supaya bercitraan sama zee = bahar, maka terjadilah kata ’bahari’. Kita mungkin masih mengingat ada gelang yang disebut dengan ’akar bahar’. Benda bertuah ini memang berbentuk seperti akar berwarna hitam dan diambil dari dasar laut yang dalam. Sesungguhnya benda ini bukan akar dari tumbuhan laut, tetapi merupakan satwa laut yang berujud karang laut. Dalam bahasa Inggris dinamakan dengan ’black coral’. Konon jawara Betawi di jaman kompeni selalu mengenakan ’akar bahar’ ini di pergelangan juga sering mendengar istilah ’insani’ yang bermakna ’manusiawi’. Dalam wacana Belanda disebut dengan ’menselijk’ yang merupakan bentukan dari kata ’mens’ artinya ’manusia’. Dari kata Arab ’insan’ dan diberi imbuhan ’i’ untuk menjadikannya kata sifat terlahirlah ’insani’. Juga ada kata ’madani’ yang tentunya dibentuk dari kata ’madan’. Dalam bahasa Arab, ’madan’ berarti ’penduduk’ dan ini bersesuaian dengan ungkapan Belanda yaitu ’burgerlijk’ burger = penduduk. Istilah ’madani’ bermakna ’sipil’ bukan militer dan dalam bahasa Inggris disebut dengan ’civil’.Ada sejumlah bentukan kata lain dengan resep yang serupa di atas yang masih dapat kita lihat bentuk asalnya. Misalnya kata ’badani’ bahasa Belanda ’lichamelijk’, di mana ’lichaam’ = badan, ’ilahi’ bahasa Belanda ’goddelijk’ di mana ’god’ = Allah, ’nabati’ bahasa Belanda ’plantaardige’, di mana ’plant’ = naba. ’Naba’ dalam bahasa Arab adalah ’tanaman’. Juga ada kata sifat ’Masehi’ dari Arab ’al Masih’ dan ’nasrani’ dari kata ’nazarene’ orang dari kota Nazareth.Menelusuri jejak kata-kata Indonesia yang begitu beragam asal usulnya memang tak jemu-jemunya membuat kita terpukau dan terpesona. Lihat Bahasa Selengkapnya
katahaji berasal dari bahasa Arab yang berarti? Mengeluh; Berani; Pergi Jauh; Menyengaja; Kunci jawabannya adalah: D. Menyengaja. Dilansir dari Encyclopedia Britannica, kata haji berasal dari bahasa arab yang berarti menyengaja. - Thaharah taharah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI artinya adalah suci, bersih atau kesucian badan yang diwajibkan bagi orang yang Thaharah Thaharah berasal dari bahasa Arab yang berarti bersih atau suci dan ini sudah disarikan ke dalam bahasa Indonesia. Pengertian thaharah secara bahasa adalah an-Nadafatu yang artinya bersih atau suci. Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah membersihkan diri, pakaian, dan tempat dari najis dan hadas, sehingga seseorang diperbolehkan beribadah yang ditentukan harus dalam keadaan suci. Bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan berwudu, untuk hadas kecil, atau mandi untuk hadas besar dan tayamum bila dalam keadaan terpaksa. Bersuci dari najis meliputi suci badan, pakaian, tempat, dan lingkungan yang menjadi tempat beraktivitas bagi kita semua. Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadap bersuci thahârah. Bersuci merupakan perintah agama yang bisa dikatakan selevel lebih tinggi dari sekadar bersih-bersih. Sebab, tidak semua hal yang bersih itu suci. Hukum Thaharah Hukum thahârah bersuci ini adalah wajib, khususnya bagi orang yang akan melaksanakan shalat. Bersih dari najis dan menghilangkannya merupakan suatu kewajiban bagi yang tahu akan hukum dan mampu melaksanakannya. Allah SWT berfirman وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ Wa siyaabaka fatahhirArtinya "Dan bersihkanlah pakaianmu". 4 Lalu terdapat juga dalam surah berikut ini اَنۡ طَهِّرَا بَيۡتِىَ لِلطَّآٮِٕفِيۡنَ وَالۡعٰكِفِيۡنَ وَالرُّکَّعِ السُّجُوۡدِ.... ...An tahhiraa Baitiya littaaa'ifiina wal'aakifiina warrukka'is sujuudArtinya "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, orang yang iktikaf, orang yang rukuk dan orang yang sujud!! Qs. Al Baqarah 125 Sementara bersih dari hadas merupakan suatu kewajiban yang sekaligus sebagai syarat sah shalat. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam “Shalat tidak diterima tanpa -didahului dengan bersuci.” HR. Muslim no. 224 Tata Cara Thaharah Thaharah secara umum dapat dilakukan dengan empat cara berikut ini 1. Membersihkan lahir dari hadas, najis, dan kelebihan-kelebihan yang ada dalam Membersihkan anggota badan dari Membersihkan hati dari akhlak Membersihkan hati dari selain Thaharah Thahârah terbagi menjadi dua, yakni bersuci dari najis dan bersuci dari hadas. Bersuci dari najis dilakukan dengan berbagai cara tergantung dengan tingkatan najis berat mughalladhah, sedang mutawassithah, atau ringan mukhaffafah.Dikutip dari NU Online, ada empat hikmah tentang disyariatkannya thahârah sebagaimana disarikan dari kitab al-Fiqh al-Manhajî ala Madzhabil Imâm asy-Syâfiî karya Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan 'Ali asy-Asyarbaji. Pertama, bersuci merupakan bentuk pengakuan Islam terhadap fitrah manusia. Manusia memiliki kecenderungan alamiah untuk hidup bersih dan menghindari sesuatu yang kotor dan jorok. Karena Islam adalah agama fitrah, maka ia pun memerintahkan hal-hal yang selaras dengan fitrah manusia. Kedua, menjaga kemuliaan dan wibawa umat Islam. Orang Islam mencintai kehidupan bermasyarakat yang aman dan nyaman. Islam tidak menginginkan umatnya tersingkir atau dijauhi dari pergaulan lantaran persoalan kebersihan. Seriusnya Islam soal perintah bersuci ini menunjukkan komitmennya yang tinggi akan kemuliaan para pemeluknya. Ketiga, menjaga kesehatan. Kebersihan merupakan bagian paling penting yang memelihara seseorang dari terserang penyakit. Ragam penyakit yang tersebar umumnya disebabkan oleh lingkungan yang kotor. Karena itu tidak salah pepatah mengungkapkan, "kebersihan adalah pangkal kesehatan". Anjuran untuk membersihkan badan, membasuh wajah, kedua tangan, hidung, dan kedua kaki, berkali-kali saban hari relevan dengan kondisi dan aktivitas manusia. Sebab, anggota-anggota tubuh itu termasuk yang paling sering terpapar kotoran. Keempat, menyiapkan diri dengan kondisi terbaik saat menghadap Allah tidak hanya bersih tapi juga suci. Dalam shalat, doa, dan munajatnya, seorang hamba memang seharusnya dalam keadaan suci secara lahir batin, bersih jasmani dan rohani, karena Allah yuhhibbut tawwâbîna yayuhibbul mutathahhirîna mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri.Baca juga Hal yang Membatalkan Wudhu dan Tata Cara Bersuci dari Hadas Kecil Amalan Sunah Seputar Wudhu Hadap Kiblat, Bacaan Niat & Doa Penutup - Pendidikan Penulis Dhita KoesnoEditor Agung DH
Translationsin context of "BERASAL DARI KATA BAHASA ARAB" in indonesian-english. HERE are many translated example sentences containing "BERASAL DARI KATA BAHASA ARAB" - indonesian-english translations and search engine for indonesian translations.
Oleh M Isom Yusqi dan Faris Khoirul Anam - Dalam kajian klasik di pondok pesantren kita mengenal istilah yang sangat populer tentang Mabadi’ Asyrah atau Sepuluh Prinsip Dasar dari bangunan suatu ilmu body of knowledge. Sepuluh Prinsip Dasar Mabadi’ Asyrah adalah deskripsi umum tentang suatu disiplin ilmu, khususnya yang berkaitan dengan ilmu syari’ah. Ia berfungsi sebagai peta, outline, term of reference TOR, sketsa, serta informasi awal mengenai suatu disiplin ilmu. Meskipun uraian mabadi’ asyrah ini pada mulanya berkaitan dengan ilmu syari’ah, namun informasi mengenai suatu istilah, disiplin ilmu atau kajian/diskursus yang baru tidak ada salahnya kalau kesepuluh prinsip dasar ini digunakan untuk menjelaskan dan menguraikan kajian Islam Nusantara agar mudah dikaji, dipahami, dan dioperasionalkan dalam ranah akademik dan juga dipakai untuk meluruskan kesalahpahaman sebagaimana yang dituduhkan oleh sebagian golongan terhadap ikhtiar akademik dan strategi kedaulatan kebudayaan dan peradaban ini. Salah seorang ulama terkemuka yang bernama Muhammad bin Ali ash-Shabban, yang kemudian dikenal dengan julukan; Abu al-Irfan al-Mishri, penyusun Syarh ala Hasyiyah al-Asymuni dan Hasyiyah ala Syarh al-Sa’d al-Tiftazani wafat 1206 H, menyebutkan Mabadi Asyrah itu dalam kumpulan syairnya, sebagai berikut إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمرَةْ وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالوَاضِعُ وَالاسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعُ مَسَائِلُ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا “Sesungguhnya prinsip dasar dalam setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh, yaitu 1 batasan definitif, 2 ruang lingkup kajian, 3 manfaat kajian, 4 perbandingan dan hubungan dengan ilmu lain, 5 keistimewaan, 6 perintis, 7 sebutan resmi, 8 sumber pengambilan kajian, 9 hukum mempelajari, 10 pokok-pokok masalah yang dikaji, lalu sebagian dengan sebagian lain mencukupi, Siapa yang menguasai semuanya akan meraih kemuliaan.” Mabadi Asyrah kajian Islam Nusantara, sesuai data, dan dinamika diskursusnya, adalah sebagai berikut Pertama Batasan Definitif Al-Hadd Pengertian Islam secara bahasa dan Istilah Menurut Ibnu Faris, secara bahasa Islam berasal dari kata “salam”, yang secara umum berarti kesehatan dan keselamatan. “Salamah” adalah selamatnya seseorang dari penyakit dan gangguan. Allah adalah al-Salam, karena Dia tidak dapat tertimpa kekurangan dan cacat sebagaimana makhluk. Islam juga bermakna penyerahan diri Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Vol 3, hal 90. Maksudnya, penyerahan diri yang dimanifestasikan dalam ketundukan kepada aturan Allah Ta’ala, yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa menjalankan perintah maupun meninggalkan larangan lihat al-Jurjani, al-Ta’rifat, hal 23. Senada dengan pengertian sebelumnya, al-Raghib al-Ashfihani menegaskan, memeluk Islam artinya adalah masuk dalam keselamatan al-Raghib al-Ashfihani, Mufradat al-Qur’an, hal 240. Secara istilah, pengertian Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bin Abdillah. Umat Islam meyakini agamanya sebagai sebuah kumpulan syariat yang menyempurnakan dan menutup risalah­ misi-misi langit risalah samawiyah dalam agama-agama sebelumnya. Dalam hadits riwayat Abu Hurairah disebutkan, Nabi memberikan pengertian tentang Islam secara praksis, yaitu “Engkau menyembah Allah semata, tak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, engkau mendirikan shalat-shalat wajib, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah.” HR. Ibnu Majah. lihat Ali al-Thanthawi, Ta’rif Am bi Din al-Islam, hal 10 dan Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, al-Mushannaf, Vol 7, hal 208. Pengertian kata “Islam” dalam kajian Islam Nusantara sama sekali tidak berbeda dengan pengertian bahasa dan istilah sebagaimana diuraikan di atas. Penambahan kata “Nusantara” hanya tarkib idhafy dalam istilah ilmu Nahwu yang mengandung arti “ fii di dalam artinya Islam yang terinternalisasi dan termanifestasi di dalam hidup dan kehidupan umat muslim nusantara, bi dengan/pada teritori maksudnya adalah Islam yang berekspansi, berpenetrasi/berdialog dan berdakwah pada dan dengan wilayah teritorial-geografis insan-insan nusantara sejak awal masuknya hingga kini dan juga menyimpan arti lii untuk, bagi yaitu Islam dan ajarannya untuk menyempurnakan dan berdialektika bersama adat, tradisi, budaya dan peradaban nusantara local wisdom yang mengandung nilai-nilai universal bagi harkat dan martabat kemanusiaan sejati. ” Pengertian Nusantara dan Islam Nusantara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nusantara adalah sebutan atau nama bagi seluruh gugusan kepulauan Indonesia. Wikipedia menambahkan, wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua itu, sekarang sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata Nusantara tercatat pertama kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan abad ke-12 hingga ke-16 untuk menggambarkan konsep geo-politik kenegaraan yang dianut kerajaan Majapahit. Setelah sempat terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang belum terwujud. Ketika penggunaan nama “Indonesia” yang berarti Kepulauan Hindia disetujui dan dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia. Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia. Akibat perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula untuk menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya, namun biasanya tidak mencakup Filipina. Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan bagi Kepulauan Melayu Malay Archipelago, suatu istilah yang populer pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa Inggris. Saat Islam masuk melalui para juru dakwah, kepulauan Nusantara tentu bukan “ruang kosong” tak berpenghuni. Di wilayah ini telah terdapat masyarakat turun temurun, dengan segala karakteristik dan tradisinya, baik yang positif local wisdom maupun negatif. Islam Nusantara adalah Islam Indonesia yang meliputi sejak masuknya Islam ke nusantara. Bahkan jauh sebelum Indoensia merdeka, universalitas ajaran Islam yang telah berdialog dengan budaya dan peradaban eksisting kenusantaraan kemudian melahirkan ekspresi dan manifestasi umat Islam Nusantara. Dialektika antara normativitas Islam dan historisitas keindonesiaan merupakan metodologi dan strategi dakwah para alim ulama, wali songo dan para pendakwah Islam untuk memahamkan dan menerapkan universalitas syumuliyah ajaran Islam sesuai prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dalam suatu model yang telah mengalami proses persentuhan dengan tradisi baik urfun shahih di Nusantara, dalam hal ini wilayah Indonesia, atau merespon tradisi yang tidak baik urfun fasid namun sedang dan atau telah mengalami proses dakwah; amputasi, asimilasi, atau minimalisasi, sehingga tidak bertentangan dengan diktum-diktum syari’ah. Sementara penyesuaian khazanah Islam dengan Nusantara berada pada bagian ajarannya yang dinamis syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy, bukan pada bagian ajaran yang statis syaqqun tsabit, atau qath’iy. Trilogi Islam Nusantara Universalitas Islam, Tradisi dan Dakwah Universalitas Islam berpaham Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini bahwa kewajiban umat Islam yang jumlahnya lima ini sebagai Rukun Islam Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan Haji, dan meyakini juga bahwa keenam rukun lain yang disebut dengan Rukun Iman, yaitu Iman kepada Allah, para malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para utusan Allah, kepada hari akhir, dan kepada qadha dan qadar. Ajaran Islam disebut dengan syari’at Islam, yaitu kumpulan hukum yang bersumber dari al-Qur’an, hadits Nabi SAW, ucapan generasi salaf shalih, ijtihad ulama yang memiliki kapasitas, otoritas dan kapabilitas untuk itu. Syari’at ini menjelaskan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, dengan masyarakat atau bangsa, dengan alam dan lingkungannya. Syariat membatasi hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Syari’at Islam bersifat universal syumuli untuk setiap lini kehidupan, dalam lintas waktu dan tempat. Kandungan ajarannya terbagi menjadi tiga hal pokok Pertama, aspek-aspek teologi ahkam aqaidiyah, mencakup setiap hukum yang terkait dengan Dzat, Sifat, dan keimanan kepada Allah disebut dengan istilah ilahiyat; yang terkait dengan para utusan dan keimanan kepada mereka dan kitab-kitab yang diturunkan pada mereka disebut dengan istilah nubuwat; dan yang terkait dengan hal-hal ghaib disebut dengan istilah sam’iyat. Aspek-aspek teologi ini dalam disiplin keislaman disebut dengan Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam. Kedua, aspek-aspek praktik ibadah ahkam amaliyah, yaitu hukum-hukum yang terkait dengan amal perilaku atau perbuatan manusia. Aspek-aspek hukum ini disebut dengan Ilmu Fikih. Fikih terbagi menjadi beberapa bagian dan para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Namun pada intinya, fikih terbagi menjadi empat bagian pokok 1 Fikih Ibadah, mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya, 2 Fikih Mu’amalat, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, seperti akad jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, hibah, pinjam meminjam, penitipan, dan sebagainya, 3 Siyasah Syar’iyah, mengatur hubungan negara dengan rakyat, atau satu negara dengan negara lainnya, seperti hukum tentang Baitul Mal, anggaran belanja negara masharif, hukum-hukum pengadilan, baik pidana, perdata, dan sebagainya, 4 Keempat, Ahkam al-Usrah atau Ahwal Syakhshiyah, mengatur hukum privat di dalam keluarga, misalnya pernikahan, perceraian, hak-hak anak, warits, washiat, dan sebagainya. Ketiga, aspek-aspek budi pekerti ahkam tahdzibiyah, yang menyerukan manusia untuk menghiasi perilakunya dengan sifat-sifat yang baik akhlaq karimah dan menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Sifat-sifat baik itu di antaranya jujur, amanah, bertanggung jawab, berani karena benar, menepati janji, sabar, menjaga kelestarian alam, dan sebagainya. Sedangkan sifat-sifat yang buruk itu antara lain adalah berbohong, berkhianat, tidak menepati janji, menipu, merusak lingkungan, dan sebagainya. Aspek-aspek budi pekerti ini disebut dengan Ilmu Akhlak, atau Ilmu Tashawwuf. Secara umum, ajaran-ajaran Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu ajaran Islam yang statis syaqqun tsabit, atau qath’iy dan ajaran Islam yang dinamis syaqqun mutaghayyir, atau ijtihadiy. Ajaran statis tsabit adalah ajaran yang tidak boleh diubah dan tidak boleh dikondisikan dengan waktu atau tempat, meliputi pokok-pokok aspek teologi ahkam aqaidiyah, pokok-pokok aspek ibadah ahkam amaliyah, dan pokok-pokok aspek budi pekerti ahkam tahdzibiyah. Rukun Iman, Rukun Islam, serta mengingkari apa dan siapapun yang disembah selain Allah SWT adalah ajaran yang tidak dapat diubah dan dikondisikan lihat QS an-Nahl 36, QS al-Anbiya 25, dan al-Syura 13. Dakwah para Nabi, sejak Nabi Adam alaihissalam hingga Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, pada wilayah tsabit ini tidak berbeda dan tidak berubah lihat QS al-Baqarah 136, QS al-Baqarah 285, dan QS Ali Imran 84. Demikian pula, pokok-pokok aturan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, dan haji, tidak dapat diubah dan dikondisikan, kecuali dalam hal-hal parsial juz-iyyat. Tentang akhlak, hal-hal pokoknya juga tidak berubah, seperti standar perilaku baik dan buruk, yang dikembalikan kepada konsep apakah suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah syariat qawa’id syari’ah atau tidak bertentangan. Sementara tentang mu’amalah dan siyasah syar’iyah dalam berbagai aspeknya, terdapat bagian statis tsabit meskipun sedikit, dan terdapat bagian dinamis mutaghayyir yang bersitaf fleksibel serta dapat disesuaikan dengan waktu dan tempat. Standar umum dalam praktik mu’amalah dan siyasah syar’iyah itu adalah pokok dan kaidah syariat, serta maqashid syari’ah, yaitu tujuan-tujuan syari’at untuk Menghilangkan dan menghentikan sesuatu yang membahayakan dharar; Memelihara lima hal kulliyat khams, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta; Senantiasa memperhatikan alasan-alasan hukum illah fikih dalam penetapan hukum; dan memperhatikan maslahat secara umum, baik kemaslahatan untuk mendapatkan sesuatu yang positif atau untuk menghindari sesuatu yang negatif. Sedangkan ajaran Islam yang dinamis syaqqun mutaghayyir adalah ajaran yang bersifat fleksibel murunah dan berkembang tathawwur seiring perkembangan kehidupan. Ajaran dinamis ini meliputi hal-hal cabang-parsial furu’iyat juz’iyat, rincian-rincian dalam pelaksanaan mu’amalah dan siyasah syar’iyah, yang berada pada wilayah adillah zhanniyah, wilayah ijtihad, dan silent syari’ah hal-hal yang secara rinci tidak dijelaskan oleh syari’at. Bagian ajaran dinamis atau syaqqun mutaghayyir ini merupakan ruang luas untuk berijtihad yang berarti pengerahan segenap kemampuan akal seorang mujtahid untuk menerapkan hukum Allah SWT di situ, bukan diartikan sebagai gejala liberalisasi syari’at, karena Islam bukan seperti prinsip apapun di luar Islam, dan dia memiliki karakteristisk tersendiri yang dibatasi oleh al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ para ulama, serta kaidah-kaidah dalam ber-istinbath dan ber-istidlal. Termasuk dalam ajaran dinamis ini adalah fatwa yang bersifat berubah sesuai waktu, tempat, dan suatu kondisi, berdasarkan standar syariat dalam berfatwa. Ibnu Hajar menukil pendapat Imam Malik يُحْدَثُ لِلنَّاسِ فَتَاوى بِقَدْرِ مَا أَحْدَثُوْا مِنَ الفُجُوْرِ “Fatwa yang disampaikan pada manusia harus diperbarui sesuai kadar perbuatan dosa model baru yang mereka lakukan.” Fatawa Ibni Hajar, Vol 1, 200 Sikap Islam Nusantara terhadap Tradisi, Budaya dan Peradaban Islam membagi tradisi yang berlaku di tengah masyarakat menjadi dua bagian, yaitu tradisi baik urfun shahih dan tradisi jelek urfun fasid. Tradisi Baik adalah sesuatu yang telah dikenal oleh kebanyakan masyarakat, berupa ucapan dan perbuatan, yang dilegitimasi oleh syari’at tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib, atau syari’at tidak membahasnya, yang sifatnya adalah berubah dan berganti. Pengertian ini disebutkan oleh Sa’ad al-Utaibi, dalam Usus al-Siyasah al-Syar’iyyah وَالمُرَادُ بِهِ العُرْفُ الصَّحِيْحُ، وَهُوَ مَا تَعَارَفَهُ أَكْثَرُ النَّاسُ وَهَذَا قَيِّدٌ يُخْرِجُ العَادَاتِ الخَّاصَّةَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ اعْتَبَرَهُ الشَّرْعُ؛ أَوْ أَرْسَلَهُ، مِمَّا شَأْنُهُ التَّغَيُّر وَالتَّبَدّل سعد العتيبي, أسس السياسة الشرعية, ص 90 Sementara tradisi jelek urfun fasid. adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat, namun bertentangan dengan syari’at. Menurut al-Utaibi, ulama hampir sepakat syibh al-ittifaq tentang kehujjahan pengamalan tradisi baik, berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, kaidah Ushul, dan Kaidah Fikih. Kehujjahan tradisi menurut al-Qur’an, adalah firman Allah dalam Surat al-A’raf ayat 199 خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ. الأعراف199 “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. QS. Al-A’raf 199 Kehujjahan tradisi menurut Sunnah, ditunjukkan melalui hadits marfu’ dari Abdullah bin Mas’ud, sebagai berikut فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئا. رواه أحمد “Sesuatu yang dipandang baik oleh umat Islam maka hal itu baik di sisi Allah dan sesuatu yang dipandang jelek oleh mereka maka hal itu jelek di sisi Allah.” HR. Ahmad Kehujjahan tradisi menurut Kaidah Ushul, dijelaskan oleh al-Bairi dalam Syarh al-Asybah, sebagai berikut الثَّابِتُ بِالعُرْفِ ثَابِتٌ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيّ “Sesuatu yang tetap melalui tradisi adalah tetap melalui dalil syar’i.” Kaidah ini senada dengan kaidah yang disampaikan al-Sarkhasi dalam al-Mabsuth الثَّابِتُ بِالعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالنَّصِّ “Sesuatu yang tetap melalui tradisi seperti sesuatu yang tetap melalui nash.” Kehujjahan tradisi menurut Kaidah Fikih, disebutkan dalam beberapa kaidah sebagai berikut العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ “Kebiasaan itu dapat menjadi hukum.” الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ “Hakikat ditinggal karena dalil adat.” اسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةً يَجِبُ العَمَلُ بِهَا “Hujjah yang dipakai banyak orang wajib diamalkan.” المَعْرُوْفِ عُرْفاً كَالمَشْرُوْطِ شَرْطًا “Yang dikenal sebagai kebiasaan sama dengan syarat.” Selain kaidah-kaidah ini, masih terdapat kaidah-kaidah lain yang disebutkan oleh para ulama. Hal ini menunjukkan legalitas pengamalan tradisi baik lihat Sa’ad al-Utaibi, Usus al-Siyasah al-Syar’iyah, hal. 90. Sementara tradisi yang tidak baik urfun fasid, Islam memiliki cara atau metodologi dalam menyikapinya, yang dikenal sebagai metodologi dakwah dengan cara amputasi, asimilasi, dan minimalisasi. Islam Nusantara Mendakwahkan Ajaran Islam Selanjutnya, ajaran Islam yang universal ini harus ditegakkan, dalam terma yang disebut dengan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar transliterasi dari bahasa Arab adalah al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahyi an al-munkar. Dakwah adalah mengabarkan, memberitahukan, menjelaskan dan mendidik seseorang tentang hal-hal benar dan salah sesuai dengan ajaran Islam. Di sini tidak ada unsur menyuruh, memaksa atau melarang melakukan sesuatu. Sedang amar ma’ruf berarti menyerukan kepada kebajikan, yaitu mengajak, menghimbau, memerintahkan, menyuruh atau menuntut dilakukannya segala perbuatan yang baik menurut syariat Islam dan mendekatkan pelakunya kepada Allah. Sedang nahi munkar berarti mencegah perbuatan munkar, yaitu mencegah, melarang, menjauhkan, menentang, menegur atau menyudahi terjadinya segala perbuatan yang buruk menurut syariat Islam. Melarang kemunkaran berarti melarang manusia agar tidak melakukan hal-hal yang tidak diridhai Allah SWT. Imam an-Nawawi dan Ibnu Hazm, seperti dikutip al-Mausu’ah al-Ammah, menyatakan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah sebuah kewajiban. Tentang status hukum amar ma’ruf nahi munkar ini, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama, yaitu para imam tabi’in, al-Dhahak, al-Thabari dan Ahmad bin Hanbal, menyatakan hukumnya fardhu kifayah, artinya jika amar ma’ruf nahi munkar munkar telah dilakukan sebagian umat, maka umat lainnya tidak menanggung dosa jika tidak ambil bagian. Sebagian ulama menyatakan fardhu ain, dalam arti bahwa setiap orang wajib ber- amar ma’ruf nahi munkar, jika tidak maka dia berdosa. Cakupan dakwah lebih luas dari amar ma’ruf nahi munkar. Meskipun demikian, kandungan dakwah tidak terlalu berbeda dengan muatan dan tugas amar ma’ruf nahi munkar, serta terdapat hubungan yang tidak dipisahkan antara kedua terma tersebut. Namun aktifitas amar ma’ruf nahi munkar dibatasi oleh beberapa hal dan persyaratan yang tidak ditemukan dalam aktifitas dakwah. Dakwah merupakan langkah pertama yang dijejakkan manusia pada jalan ilahi ini. Dengan harapan, ia akan menjadi pemisah antara satu ideologi dengan ideologi lainnya, pembeda antara satu teori dengan teori lainnya, dan pembatas antara satu model kehidupan dengan model kehidupan lainnya. Adapun amar ma’ruf dan nahi munkar, merupakan upaya internal kaum muslimin sendiri, agar umat Islam tetap menempuh jalan Islam dan tidak menyimpang dari jalannya yang lurus. Pada bagian tertentu, metodologi dakwah ini dapat disesuaikan dengan waktu, tempat, dan suatu kondisi, yang pada intinya bertujuan untuk menegakkan ajaran Allah SWT di muka bumi ini li I’lai kalimatillah hiya al-ulya. Kedua Ruang Lingkup Kajian Al-Maudhu’ Ruang lingkup kajian Islam Nusantara adalah berikhtiar meng-integrasikan, meng-interkoneksikan dan meng-internalisasikan tiga peradaban Islam yang telah menyejarah dan membumi di nusantara. Ketiga peradaban tersebut yaitu Peradaban Teks Hadhorahtun Nash, Peradaban Ilmu dan Budaya Hadhoratul Ilm was Tsaqofah dan Peradaban Setempat local wisdom/Hadhorah Mahalliyyah/Waqi’iyyah. Bertitik tolak dari kerangka dasar di atas kajian Islam Nusantara akan mengkonstruksi pendidikan Islam yang non-dikotomis, non-dualistik dan berkarakter yang utuh. Dengan demikian sebagai langkah awal kajian ini menggali dan membangun teori ilmu-ilmu keislaman yang berwatak sosial-nusantara seperti kajian kepesantrenan pesantren studies, geneologi keilmuan sanad ilm, tahqiq turast ulama nusantara, talaqqi pembelajaran al-Qur’an dan lain sebagainya. Selain itu kajian Islam Nusantara bertujuan mengkonversi ekspresi-ekspresi keberislaman muslim ahlussunnah wal jamaah melalui tradisi-tradisi keagamaan seperti pembacaan Aurat/wiridan, Ratib, Ruqyah, Manaqib, Maulid Nabi SAW, Nasyid, Istighosah dan Ziarah makam para wali dan ziarah ke orang-orang sholeh disingkat ARUMANIZ dan Marawish, Hadrah, Barzanji dan Nasyidahan disingkat MARHABAN. Kemudian pada sisi metodologi dakwah dalam menyikapi khazanah, peradaban, dan kearifan lokal local wisdom yang ada di wilayah Nusantara, baik sikap terhadap tradisi baik urfun shahih dan tradisi tidak baik urfun fasid kajian Islam Nusantara akan melakukan rekayasa-rekayasa sosial dengan cara-cara amputasi, asimilasi, dan minimalisasi sehingga ajaran Islam tetap sholihun likulli zaman wa makan. Pembumian ajaran Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah baca Islam Nusantara dengan metode dakwah yang paralel dengan karakteristik Nusantara dan kearifan lokal masyarakatnya. Tradisi baik akan diterima, dalam arti sesuatu yang telah dikenal oleh kebanyakan masyarakat, berupa ucapan dan perbuatan, yang dilegitimasi oleh syari’at tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib, atau syari’at tidak membahasnya, yang sifatnya adalah berubah dan berganti. Sementara tradisi tidak baik, yaitu sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat tetapi bertentangan dengan syari’at, akan disikapi dengan tiga pendekatan approach, yaitu amputasi, asimilasi, atau minimalisasi. Metode ini telah terbukti dapat diterima masyarakat Nusantara, tanpa resistensi tinggi atas perubahan tradisi yang sebelumnya mereka jalani. Amputasi adalah metode dakwah dengan memotong tradisi yang menyimpang. Para juru dakwah menjalankan metode ini dalam menghadapi suatu tradisi yang secara prinsip tidak dapat diakomodasi dalam syariat Islam. Contohnya adalah keyakinan dinamisme kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yg dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dl mempertahankan hidup dan animisme kepercayaan kepada roh yang diyakini mendiami semua benda, seperti pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya. Meskipun dilakukan dengan cara memotong hingga ke akarnya, namun dakwah model ini dilakukan secara bertahap dan berproses. Hal ini seperti yang dilakukan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, dalam menyikapi keyakinan paganisme kepercayaan atau praktik penyembahan terhadap berhala di kalangan masyarakat Arab. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menghancurkan fisik berhala-berhala, berikut berhala keyakinan, pemikiran, kebudayaan, dan pedoman hidup pagan. Tradisi tersebut berhasil dihilangkan, namun baru terlaksana secara massif pada peristiwa pembebasan kota Makkah Fath Makkah pada 630 M / 8 H, atau ketika dakwah Islam telah berusia 21 tahun. Asimilasi adalah metode dakwah dengan menyesuaikan atau melebur tradisi menyimpang menjadi tradisi yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Para juru dakwah menjalankan metode ini dalam menghadapi suatu tradisi yang secara praksis dapat diakomodasi dalam syari’at Islam, dengan cara membelokkan’ dari tradisi tidak baik menjadi baik. Contohnya adalah tradisi tumpeng yang pada mulanya merupakan tradisi purba masyarakat Indonesia untuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur nenek moyang. Tradisi ini diasimilasi dengan sentuhan filosofi Islam, bahwa “Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa “Yen metu kudu sing mempeng bila keluar harus dengan sungguh-sungguh.” Pada bagian makanan bernama “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari “Yen mlebu kudu sing kenceng bila masuk harus dengan sungguh-sungguh.” Sedangkan lauk-pauknya berjumlah tujuh macam, atau pitu dalam bahasa Jawa, bermakna Pitulungan pertolongan. Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam Surat al Isra’ ayat 80 وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا “Dan katakanlah, Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah pula aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” QS. Al-Isra 80 Tumpeng ini menjadi bahan untuk menyadarkan masyarakat mengenai tafsir ayat tersebut, yang berarti “Matikan aku dengan kematian sebagai orang yang benar dan bangkitkan aku pada hari kiamat sebagai orang yang benar”, atau “Masukkan aku dalam wilayah perintah dan keluarkan aku dari wilayah larangan”, termasuk “Masukkan aku ke dalam wilayah aman dan keluarkan aku dari wilayah kemusyrikan.” Makna ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, terkait turunnya ayat tersebut yang berkaitan dengan kehijrahan Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah Tafsir al-Qurthubi, 10/312. Tradisi penyajian tumpeng tersebut dilakukan, dengan diawali pembacaan al-Qur’an dan doa-doa kepada Allah Ta’ala, lalu bersedekah kepada sesama. Hal-hal ini tidak bertentangan, bahkan dianjurkan oleh agama. Makna serupa dapat dipahami dalam tradisi lainnya, seperti kenduri, selametan, sajian kue apem, ketupat, pembangunan gapura, dan sebagainya. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, murid Syaikh Ibnu Taimiyah membagi kemunkaran menjadi empat macam, salah satunya adalah mengganti perbuatan menyimpang dengan perbuatan serupa yang tidak menyimpang’ an yakhlufahu ma huwa mitsluh. Menurutnya, metode ini adalah wilayah ijtihadiyah, artinya boleh dilakukan sesuai kriterianya lihat I’lam al-Muwaqqi’in, Vol 3, hal 12. Sedangkan minimalisasi adalah metode dakwah dengan memperkecil dampak negatif dari suatu praktik tradisi menyimpang yang tidak diapat diasimilasi. Minimalisasi merupakan proses dakwah yang belum selesai dan terus mengalami proses. Contohnya adalah tradisi yang sampai saat ini masih berlaku pada sebagian masyarakat pesisir yang melarung kepala kerbau ke laut pada waktu-waktu tertentu. Asal mula tradisi tersebut adalah pelarungan kepala gadis atau perawan. Praktik menyimpang ini diminimalisasi dampak negatifnya dengan mengganti kepala gadis dengan kepala kerbau. Para ulama dalam dakwahnya banyak mengembangkan pola dan metode ini. Dalam pembagian model kemunkaran ala Ibnu Qayyim al-Jauziyah, metode ini disebut dengan mengurangi kadar kemunkaran’ an yaqilla wa in lam yazul bi jumlatihi. Meski kemungkaran tersebut belum hilang sepenuhnya, menurutnya, metode ini dilegitimisi oleh syari’at masyru’. Dia mencontohkan suatu kisah yang terjadi pada gurunya, Syaikh Ibnu Taimiyah. Suatu hari ia berjalan bersama beberapa sahabatnya di era kekuasaan Tatar. Di tengah perjalan mereka menemui beberapa orang yang sedang meminum minuman keras. Kawan Ibnu Taimiyah mengingkari perbuatan mereka. Namun, pengingkaran tersebut justru diingkari oleh Ibnu Taimiyah, dengan mengatakan إنَّمَا حَرَّمَ اللَّهُ الْخَمْرَ لِأَنَّهَا تَصُدُّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ، وَهَؤُلَاءِ يَصُدُّهُمْ الْخَمْرُ عَنْ قَتْلِ النُّفُوسِ وَسَبْيِ الذُّرِّيَّةِ وَأَخْذِ الْأَمْوَالِ فَدَعْهُمْ. “Allah mengharamkan khamer karena benda itu dapat menghalangi orang dari berdzikir dan shalat, sedangkan orang-orang itu dihalangi oleh khamernya untuk membunuh orang, menawan anak, dan mengambil harta yang bukan haknya. Biarkanlah mereka.” lihat I’lam al-Muwaqqi’in, Vol 3, hal 13. Ibnu Taimiyah membiarkan sekumpulan orang yang sedang pesta minuman keras itu, bukan berarti merestui perbuatan munkar mereka. Namun, lebih pada suatu cara atau metode dalam berdakwah, guna mengurangi dampak negatifnya minimalisasi. Dalam masalah lain yang lebih besar, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menasihatkan مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ مَا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِ “Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai pada pemimpinnya, maka hendaknya dia bersabar dan jangan sampai dia keluar dari ketaatan kepadanya.” Teks hadits tersusun dari dua hadits, riwayat al-Bukhari [7054] dan Muslim [1849] Perbuatan pemimpin yang tidak disukai merupakan penyimpangan, dan pembiarannya bukan merupakan ridha pada kemunkaran. Namun lebih bermakna sebagai minimalisasi dampak negatif ini. Berbagai fitnah yang terjadi di tengah umat Islam, baik dalam skala besar maupun kecil, disebabkan oleh ketidakpedulian pada metode dakwah ini dan ketidaksabaran dalam menghadapi kemunkaran. Pihak-pihak tertentu secara frontal berdalih menghilangkan suatu penyimpangan, namun justru melahirkan fitnah yang lebih besar dari penyimpangan itu. Ibnu Qayyim mengingatkan, tidak boleh melakukan bentuk-bentuk pengingkaran yang justru menimbulkan kemunkaran lebih besar dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Mengingkari pemimpin dengan cara memberontak mereka, misalnya, adalah penyebab utama terjadinya berbagai fitnah dalam rentang perjalanan sejarah umat Islam. Ketiga Manfaat Kajian Al-Tsamrah Ke depannya, kajian Islam Nusantara dan sebagai pengembangan model dakwah yang berbasis kearifan lokal diharapkan dapat terbangung paradigma keilmuan berbasis sosio-episteme kenusantaraan, dan sebagai pijakan atas ketahanan serta kedaulatan budaya dan peradaban bangsa Indonesia dalam menghadapi benturan antar peradaban class of civilization dengan ideologi-ideologi berbahaya yang berbasis pada ekstrimisme, materialisme, liberalisme, hedoniisme, sekularisme dan lainnya. Sekaligus mencoba menawarkan bahwa budaya dan peradaban Islam Nusantara bisa sebagai alternatif pembangunan kebudayaan dan peradaban dunia lebih berperikemanusiaan melawan hegemoni kebudayaan dan peradaban westernisme dan kofusianisme. Keempat Perbandingan Dan Hubungannya Dengan Ilmu/Istilah Lain Al-Nisbah Kemunculan istilah Islam Nusantara dengan pengertian dan karakteristiknya tersebut di atas, tidak menafikan metode dakwah lain, selagi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh. Demikian pula, istilah Islam Nusantara tidak menafikan keberadaan Islam di negara atau wilayah lain. Perbedaan antara Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah dengan metode yang dikembangkan di wilayah lain, baik di Afrika, Eropa, atau di wilayah Arab adalah ikhtilaf tanawwu’ perbedaan yang tidak saling menafikan, bukan ikhtilaf tadhadh perbedaan yang saling menafikan, karena tiap daerah memiliki karakteristiknya sendiri. Sebagai ikhtilaf tanawwu’, keberadaan Islam Nusantara memperkaya khazanah dan metode dakwah keislaman sesuai dengan karakter wilayah ini, serta tidak menafikan universalitas syumuliyah Islam. Bahkan kehadiran Islam Nusantara memperkaya kajian akademik dan akan melahirkan spesialisasi-spesialisasi keilmuan yang berwatak nusantara terutama ilmu-ilmu sosial seperti ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, filologi, histeriografi, pendidikan, ekonomi, politik, hukum dan ilmu sosial maupun alam lainnya. Kelima Keistimewaan Al-Fadhl Keistimewaan kajian Islam Nusantara akan melahirkan sistem ilmu pengetahuan yang berwatak dan berkarakter sosial-nusantara dan mendorong tindakan-tindakan emansipatif demi tugas pencerdasan, humanisasi dan kesejahteraan sosial. Hal ini sebagai counter discourse terhadap sistem-sistem ilmu pengetahuan yang berkarakter anti sosial, hanya berputar-putar pada ranah kognisi sehingga melahirkan kejahatan intelektual, dominasi kekuasaan/superioritas keilmuan scienticism dan kediktatoran teknologis. Kajian-kajian keilmuan di Nusantara bahkan dunia selama ini baik ilmu sosial maupun ilmu alam memiliki kecenderungan positivisme, dogmatisme, ideologisme, metodologisme dan teknologisme yang ekstrim sehingga mengakibatkan hilangnya ciri sosial dan kemanusiaannya. Sepertinya ilmu-ilmu tersebut datang dari langit bukan berangkat dan dikonstruksi oleh manusia-manusia nusantara dan dari bumi nusantara yang dipijaknya. Pada umumnya ilmu-ilmu tersebut adalah produk impor dan ditemukan oleh ilmuwan-ilmuwan asing bukan original karya insan nusantara. Selain itu Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah berguna juga untuk memetakan obyek dan strategi dakwah yang sesuai dengan karakter masyarakat di Nusantara, baik itu melalui kontekstualisasi, pribumisasi atau pun apa istilahnya terhadap manusia-manusia yang berada di bumi nusantara. Keenam Perintis Al-Wadhi’ Perintis istilah Islam Nusantara adalah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama NU melalui para akademisi Pascasarjana STAINU/UNU Jakarta. Meski tentu bukan istilah baru, namun Islam Nusantara secara khusus dikampanyekan oleh organisasi ini dan secara resmi menjadi tema besar Muktamar Ke-33 NU pada 1-5 Agustus 2015, di Jombang, Jawa Timur. Ketujuh Sebutan Resmi Al-Ism Islam Nusantara. Kedelapan Sumber Pengambilan Kajian Al-Istimdad Manusia-manusia nusantara adalah aktor dan sekaligus kreator disiplin kajian Islam Nusantara. Kajian tersebut berangkat dari kepekaan batin, kepedulian sosial dan ketajaman intelektual muslim nusantara akan melahirkan ilmu pengetahuan, budaya dan peradaban yang berbasis dari sosial-nusantara. Namun secara normatif kajian ini tetap bersumber pada Al-Qur’an, Hadits, dan ijtihad ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, baik berupa produk hukum dan fatwa dari nalar muslim nusantara berupa hasil bahtsul masail, tarjih, majlis hisbah dan lainnya. Disamping itu fenomena sosial dan gejala-gejala alam di bumi nusantara juga merupakan sumber empirik kajian ini. Budaya dan peradaban yang termanifestasi di dalam seni, tradisi dan adat istiadat manusia-manusia nusantara merupakan terpenting yang bisa dinegasikan dalam diskursus ini. Kesembilan Hukum Mempelajarinya Al-Hukm Al-Syar’i Jikalau kajian Islam Nusantara merupakan metodologi dan perspektif baru bagi seorang muslim nusantara maka hukumnya adalah wajib dipelajari bagi para juru dakwah yang berketetapan hati bahwa Islam Nusantara merupakan suatu cara yang bertujuan untuk menegakkan ajaran Allah SWT di muka bumi ini li I’lai kalimatillah hiya al-ulya, serta suatu cara yang bertujuan untuk menghindari fitnah dan bahaya mafsadah lebih besar dalam proses dakwah dan amar ma’ruf nahyi munkar di wilayah Nusantara. Kesepuluh Pokok-pokok Masalah yang Dikaji Al-Masail Pokok pokok yang dikaji dalam Islam Nusantara antara lain; kajian tentang tradisi dan karakteristik masyarakat Nusantara, genelogi keilmuan, sanad ilmu, sanad spiritual, bahsul masail, tarjih, hisbah, pranata sosial Islam Indonesia, sejarah sosial dan intelektual muslim nusantara, filologi, sosiologi, antropologi, sejarah, historiografi, metode tahqiq, matan, syarah, hamisy, studi pesantren, metodologi pembelajaran, ekonomi, hukum, politik dan lain sebagainya. Wallahu a’lam. * Prof. Dr. M. IsomYusqi, Direktur Pascasarjana STAINU Jakarta; Faris Khoirul Anam, pengurus Aswaja NU Center Jatim
Soaldan jawaban aswaja kelas xii. Jangan harus disuruh belajar baru mau belajar. Soal aswaja kelas xii uts ganjil baca juga. Kata mabadi berasal dari bahasa arab yang berarti. Ingat kalian sudah besar dan harus mandiri dalam belajar ya. Ke nu an ma xii 10 11 mata pelajaran. 31 junuari 1826 m d. Soal bahasa jepang dan jawaban.
يَنْبَغِى لِكُـلِّ شَارِعٍ فِى فَنٍّ مِنَ الفُنُونِ أَنْ يَتَصَوَّرَهُ وَيُعَرِّفَهُ قَبْلَ الشُّرُوْعِ فِيْهِ لِيَكُونَ عَلَى بَصِيْرَةٍ فِيْهِ وَيَحْصُلُ التَّصَوُّرُ بِمَعْرِفَةِ المَبَادِى العَشَرَةِ المَنْظُومَةِ فىِ قَولِ بَعْضِهِمْ Seyugialah yang mengandung pahala sunnah bagi setiap orang yang hendak mempelajari suatu ilmu, terlebih dahulu harus mengetahui huraian-huraian ilmu yang akan di pelajari, dengan harapan agar dapat mewaspadai ilmu yang akan di pelajari, dan huraian-huraian ilmu itu adalah dengan cara megenali 10 macam kerangka ilmu, sebagaimana penjelasan sya’ir yang di abadikan sebahagian Ulama الحَـدُّ وَالمَوْضُوعُ ثُمَّ الثَّـمْرَةُ إِنَّ مَبَادِى كُـلَّ فَنٍّ عَشْـرَةُ الإِسْمُ الإِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعُ وَفَضْـلُهُ وَنِسْـبَةٌ وَالوَاضِـعُ وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفاَ مَسَائِلٌ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى Sesungguhnya mabadidasar setiap ilmu itu sepuluh Hadnya ta’rifannya Maudhu’nya tajuk perbahasannya Kemudian Tsamrahnya buah atau faedahnya Fadhilatnya iaitu keutamaannya Nisbahnya perbandingannya Pelopor atau penciptanya yakni orang yang mula menyusun atau mengasaskan ilmu tersebut Namanya nama ilmu tersebut Sumbernya tempat ambilan ilmu tersebut Hukum syaraknya hukum mempelajari ilmu tersebut Dan masalah-masalahnya Cukup dihuraikan sebahagian, namun siapa menghuraikan kesemuanya akan mendapat kemuliaan. وَالآنَنُشَارِعُ فىِ فَنٍّ النَّحْوِ فَنَقُوْلُ Dan sekarang kita hendak mempelajari ilmu Nahwu maka kami katakan 1. Had ya’ni Ta’rifannya حَدُّهُ عِلْمٌ بِقَوَاعِدٍ يُعْرَفُ بِهَا اَحكَامُ الكَلِمَاتِ العَرَبِيَّةِ حَالَ تَرْكِيْبِهَا مِنَ الاِعْرَابِ وَالبِنَاءِ وَمَا يَتْبَعُهَا Hadnya ya’ni ta’rifannya ialah suatu ilmu berserta kaedah-kaedah untuk mengetahui hukum-hukum kalimat bahasa arab ketika kalimat itu tersusun, apakah hukum i’rab berubah atau mabni tetap dan lain sebagainya. 2. Maudhu’ ya’ni Tajuk Perbahasannya وَمَوْضُوْعُهُ الكَلِمَاتُ العَرَبِيَّةِ مِنْ حَيْثُ البَحْثِ عَنْ أَحْوَالِهَا Penempatan ilmu Nahwu adalah pembahasan kalimat-kalimat bahasa arab. 3. Tsamrah ya’ni Faedahnya وَثَمْرَتُهُ التَّحِرُزُ عَنِ الخَطَاء وَالاِسْتِعَانَةُ عَلَى فَهْمِ كَلاَمِ اللهِ وَكَلاَمِ رَسُوْلِ اللهِ Buah mempelajari ilmu Nahwu adalah menjaga kesalahan membaca serta membantu memahami Firman Allah dan Hadits Rasulullah Saw. 4. Fadhilah ya’ni Keutamaannya وَشَرْفُهُ بِشَرْفِهِ Keutamaan ilmu Nahwu adalah karena mulia manfaat dan buahnya. 5. Nisbah ya’ni Perbandingan dengan lain-lain ilmu وَنِسْبَتُهُ لِبَا قِي العُلُوْمِ التَّبَاينُ Nisbatperbandingan ilmu nahwu dengan ilmu yang lain adalah nisbat tabayyun masing-masing punya kejelasan. 6. Wadhi’ ya’ni Pencipta atau pelopornya وَوَاضِعُهُ أَبُوْ الاَسْوَدَ الدَّؤُلِى يُأمَرُ مِنَ الاِمَامِ عَلِى كَرَمَهُ اللهُ وَجْهَهُ Penciptailmu Nahwu adalah Abul Aswad Addauly atas intruksi Imam Ali karamallahu wajhah. 7. Ism ya’ni Nama ilmu ini وَاسْمُهُ عِلْمُ النَحْوِ وَعِلْمُ العَرَبِيَّةِ Nama ilmu ini adalah Nahwu, ilmu tata bahasa arab. 8. Istimdaad ya’ni Sumber ambilan dan rujukan وَاسْتِمْدَادُهُ مِنْ كَلاَمِ العَرَبِ Sumber ilmu Nahwu adalah kata atau kalimat yang berbahasa Arab. 9. Hukum ya’ni ketetapan hukum mempelajari ilmu ini وَحُكْمُ الشَّارِعُ فِيْهِ وُجُوْبُهُ الكَفَائِى عَلَى أَهْلِ كُلِّ نَاحِيَةٍ وَالعَيْنِى عَلَى قَارِئِ التَّفْسِيْرِ وَالحَدِيْثِ Hukum mempelajari ilmu nahwu adalah wajib kifayah atas penduduk setiap kampung dan fardu a’in atas setiap pembaca Tafsir dan hadits seperti para santri, ustadz dan para kiyai. 10. Masalah-masalah yang diperbahasankan didalam ilmu ini وَمَسَائِلُهُ قَوَاعِدُهُ كَقَوْلِكَ الفَاعِلُ مَرْفُوْعٌ وَالمَفْعُوْل بِهِ مَنْصُوْبٌ Masalah-masalah dalam ilmu Nahwu adalah kaidah-kaidah atau rumus-rumus seperti Fa’ilitu hukumnya dirafa’kan, Maf’ul bih itu hukumnya dinasabkan, dan lain sebagainya.
Z7bWcCi.
  • 48oj45fkcb.pages.dev/266
  • 48oj45fkcb.pages.dev/146
  • 48oj45fkcb.pages.dev/378
  • 48oj45fkcb.pages.dev/352
  • 48oj45fkcb.pages.dev/273
  • 48oj45fkcb.pages.dev/280
  • 48oj45fkcb.pages.dev/352
  • 48oj45fkcb.pages.dev/350
  • 48oj45fkcb.pages.dev/388
  • kata mabadi berasal dari bahasa arab yang berarti